Sesungguhnya
pangkal penyakit kebanyakan bersumber dari makanan. Maka tak heran bila
Rasulullah memberi perhatian besar dalam masalah ini.
Prinsip
pertama makanan dan minuman harus halal dan thoyib (baik). Maksudnya
selain masuk kategori halal, maka makanan dan minuman kaum muslimin
harus bersih dan mengandung kandungan gizi yang cukup.
Prinsip
kedua seimbang, sederhana dan tak berlebihan. Rasulullah mengajarkan
untuk makan tidak terlalu kenyang. Lambung cukup di isis dengan 1/3
makanan, lalu 2/3nya untuk minuman dan udara.
Rasulullah
bersaba, “Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari
perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan
tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi
perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan
sepertiganya lagi untuk pernafasan” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Rasulullah melarang untuk makan lagi sesudah kenyang. Rasulullah
bersabda, “Kami adalah kaum yang tidak makan sebelum merasa lapar dan
bila kami makan tidak pernah kekenyangan.” (HR. Bukhari Musim).
Suatu
hari, di masa setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat mengunjungi
Aisyah r.a. saat itu daulah islamiyah sudah sedemikian luas dan makmur.
Lalu, sambil menunggu Aisyah r.a., para sahabat yang sudah menjadi
orang-orang kaya, saling bercerita tentang menu makanan mereka yang
meningkat dan bermacam-macam. Aisyah r.a., yang mendengar hal itu
tiba-tiba menangis. “Apa yang membuatmu menangis, wahai Bunda?” tanya
para sahabat. Aisyah r.a. lalu menjawab, “Dahulu Rasulullah tidak pernah
mengenyangkan perutnya dengan dua jenis makanan. Ketika sudah kenyang
dengan roti, beliau tidak akan makan kurma, dan ketika sudah kenyang
dengan kurma, beliau tidak akan makan roti.”
Dan penelitian membuktikan bahwa berkumpulnya berjenis-jenis makanan dalam perut telah melahirkan bermacam-macam penyakit. Maka sebaiknya jangan gampang tergoda untuk makan lagi, kalau sudah yakin bahwa Anda sudah kenyang.
Dan penelitian membuktikan bahwa berkumpulnya berjenis-jenis makanan dalam perut telah melahirkan bermacam-macam penyakit. Maka sebaiknya jangan gampang tergoda untuk makan lagi, kalau sudah yakin bahwa Anda sudah kenyang.
Salah
satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu
yang dicampur air untuk membersihan air liur dan pencernaan. Rasulullah bersabda, “Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Al-Qur'an.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Yang
selanjutnya, Rasulullah tidak makan dua jenis makanan panas atau dua
jenis makanan yang dingin secara bersamaan. Beliau juga tidak makan ikan
dan daging dalam satu waktu dan juga tidak langsung tidur setelah makan
malam, karena tidak baik bagi jantung. Beliau juga meminimalisir dalam
mengonsumsi daging, sebab terlalu banyak daging akan berakibat buruk
pada persendian dan ginjal. Pesan Umar r.a., “Jangan kau jadikan perutmu
sebagai kuburan bagi hewan-hewan ternak!”
Menu harian Rasulullah adalah sebagai berikut:
Lepas
dari subuh, Rasulullah membuka menu sarapannya dengan segelas air yang
dicampur dengan sesendok madu asli. Khasiatnya luar biasa. Dalam Al-Qur’an,
kata “syifa"/ "kesembuhan", yang dihasilkan oleh madu, diungkapkan
dengan isim nakiroh, yang berarti umum, menyeluruh. Ditinjau dari ilmu
kesehatan, madu berfungsi membersihkan lambung, mengaktifkan usus-usus,
menyembuhkan sembelit, wasir, peradangan, serta menyembuhkan luka bakar.
Masuk
waktu dluha, Rasulullah selalu makan tujuh butir kurma “ajwa”/
"matang". Rasulullah bersabda, "barang siapa yang makan tujuh butir kurma, maka
akan terlindungi dari racun." Dan ini terbukti ketika seorang wanita
Yahudi menaruh racun dalam makanan Rasulullah dalam sebuah percobaan
pembunuhan di perang khaibar, racun yang tertelan oleh beliau kemudian
bisa dinetralisir oleh zat-zat yang terkandung dalam kurma. Bisyir ibnu
al Barra’, salah seorang sahabat yang ikut makan racun tersebut,
akhirnya meninggal. Tetapi Rasulullah selamat. Apa rahasianya? Tujuh
butir kurma! Dalam
sebuah penelitian di Mesir, penyakit kanker ternyata tidak menyebar ke
daerah-daerah yang penduduknya banyak mengonsumsi kurma, karena kurma
memiliki zat-zat yang bisa mematikan sel-sel kanker. Maka tidak perlu
heran kalau Allah menyuruh Maryam r.a., untuk makan kurma di saat
kehamilannya sebab bagus untuk kesehatan janin.
Dahulu,
Rasulullah selalu berbuka puasa dengan segelas susu dan kurma, kemudian
sholat maghrib. Keduanya itu kaya dengan glukosa, sehingga langsung
menggantikan zat-zat gula yang kering setelah seharian berpuasa. Glukosa
itu sudah cukup mengenyangkan, sehingga setelah sholat maghrib, tidak
akan berlebihan apabila bermaksud untuk makan lagi.
Menjelang
sore hari, menu Rasulullah selanjutnya adalah cuka dan minyak zaitun.
Tentu saja bukan cuma cuka dan minyak zaitunnya saja, tetapi dikonsumsi
dengan makanan pokok, seperti roti misalnya. Manfaatnya banyak sekali,
diantaranya mencegah lemah tulang dan kepikunan di hari tua, melancarkan
sembelit, menurunkan kolesterol, dan memperlancar pencernaan. Itu juga
berfungsi untuk mencegah kanker dan menjaga suhu tubuh di musim dingin. Ada
kisah menarik sehubungan dengan buah tin dan zaitun, yang Allah
bersumpah dengan keduanya. Dalam Al-Quran, kata “at tin” hanya ada satu
kali, sedangkan kata “az zaytun” diulang sampai tujuh kali. Seorang ahli
kemudian melakukan penelitian, yang kesimpulannya, jika zat-zat yang
terkandung dalam tin dan zaitun berkumpul dalam tubuh manusia dengan
perbandingan 1:7, maka akan menghasilkan “ahsni taqwim” atau tubuh yang
sempurna, sebagaimana tercantum dalam surat at tin. Subhanallah!
Di
malam hari, menu utama Rasulullah adalah sayur-sayuran. Beberapa
riwayat mengatakan, beliau selalu mengonsumsi sana al makki dan sanut.
Secara umum sayur-sayuran memiliki kandungan zat dan fungsi yang sama,
yaitu memperkuat daya tahan tubuh dan melindungi dari serangan penyakit.
Di
samping menu wajib di atas, ada beberapa jenis makanan yang disukai
Rasulullah tetapi beliau tidak rutin mengonsumsinya. Diantaranya tsarid,
yaitu campuran antara roti dan daging dengan kuah air masak (kira-kira
seperti bubur ayam). Beliau juga senang makan buah yaqthin atau labu
manis, yang terbukti bisa mencegah penyakit gula. Kemudian beliau juga
senang makan anggur dan hilbah.
Sekarang
masuk pada tata cara mengonsumsinya. Ini tidak kalah pentingnya dengan
pemilihan menu. Sebab setinggi apa pun gizinya, kalau pola konsumsinya
tidak teratur, akan buruk juga akibatnya. Yang paling penting adalah
menghindari isrof (berlebihan). Rasulullah
bersabda, “Cukuplah bagi manusia untuk mengonsumsi beberapa suap
makanan saja untuk menegakkan tulang sulbinya (rusuknya).”
Makanlah
dengan sikap duduk yang baik yaitu tegap dan tidak menyandar, karena
hal itu lebih baik bagi lambung, sehingga makanan akan turun dengan
sempurna. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku tidak makan dengan
bersandar.”
Prinsip ketiga berpuasa. Sebulan dalam setahun, umat Islam diwajibkan bukan saja dengan mencapai ketaqwaan tetapi juga kesehatannya dapat terjaga. Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kamu supaya sehat tubuhmu.” (HR. Bukhari).
Puasa
akan membawa kita pada kesehatan yang sangat luar biasa. Secara
fisiologis, puasa sangat erat kaitannya dengan kesehatan tubuh manusia.
Saluran pencernaan manusia tempat menampung dan mencerna makanan,
merupakan organ dalam yang terbesar dan terberat di dalam tubuh manusia.
Sistem pencernaan tersebut tidak berhenti bekerja selama 24 jam dalam
sehari. Banyak hasil penelitian modern yang memaparkan bahwa puasa
sangat menyehatkan. Diantaranya, memberikan istirahat fisiologis
menyeluruh bagi sistem pencernaan dan sistem syaraf pusat, menormalisasi
metabolisme tubuh, menurunkan kadar gula darah, mengikis lipid “jahat”
(cholesterol), detoksifikasi (membuang racun dari tubuh), dan lain
sebagainya.
Selain itu, diajarkan juga kepada kita agar senantiasa berdo’a baik sebelum maupun sesudah makan.
Doa sebelum makan:
“Ya
Allah, berkahilah untuk kami, pada apa yang telah Engkau rizkikan
kepada kami, dan periharalah kami dari api neraka” (Al-Hadits).
Doa sesudah makan:
“Segala
puji bagi Allah yang telah memberi makan dan minum kami, serta
menjadikan kami orang-orang muslim” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).